Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani menyampaikan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus berkomitmen untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang telah ditandatangani Presiden merupakan salah satu komitmen serius Jokowi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu adalah janji dan komitmen Presiden Jokowi yang tidak pernah berhenti,” ujar Jaleswari dikutip dari keterangan pers yang diterima, Ahad (21/8).
Dia menjelaskan, sejak menjabat sebagai Presiden pada 2014, Jokowi telah berupaya keras menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. Jokowi juga memerintahkan untuk pelanjutan proses pengadilan (yudisial) dengan memerintahkan Kejaksaan Agung dan mendorong Komnas HAM bekerja memenuhi unsur-unsur dan proses hukum.
Paralel dengan proses yudisial, Jokowi juga memberikan arahan perlunya penyelesaian di luar pengadilan (non-yudisial) yang lebih berorientasi pada perlindungan dan rehabilitasi hak korban dan keluarga korban.
Jaleswari mengatakan, pada peringatan Hari HAM Sedunia 9 Desember 2014 di Yogyakarta, Jokowi menemui korban pelanggaran HAM untuk mendengarkan aspirasi mereka. Kemudian pada 2015, juga sempat digagas pembentukan Komite Rekonsiliasi dan Komite Pengungkapan Kebenaran.
Selanjutnya pada 2016 digelar simposium nasional tentang peristiwa 1965/1966 dan rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional di 2016, namun mendapat penolakan publik dengan berbagai alasan.
Pada Mei 2018, Jokowi pun menerima audiensi keluarga korban pelanggaran HAM di Istana guna mendengar aspirasi dan harapan para korban. Masih pada tahun yang sama, dibentuk Tim Gabungan Terpadu Tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
Kemudian pada 2019, dimulailah pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi setelah UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006.
“Pada tahun 2021 Jaksa Agung mulai melakukan penyidikan atas dugaan pelanggaran HAM di Paniai tahun 2014, dan dalam waktu dekat ini Pengadilan HAM atas kasus tersebut akan digelar di Pengadilan Negeri Makassar,” jelas Jaleswari.
Menurut dia, tidak ada jalan tunggal bagi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, hingga saat ini, tercatat ada 13 peristiwa pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan.
Sembilan peristiwa di antaranya merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu. Yakni peristiwa 1965/1966; peristiwa penembakan misterius 1983-1984; peristiwa Talangsari 1989; peristiwa Mei 1998; peristiwa penghilangan paksa 1997/1998; peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998-1999; peristiwa Dukun Santet 1999; peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998; dan peristiwa Simpang KKA Aceh 1999.
Sedangkan empat peristiwa lainnya terjadi setelah tahun 2000, yaitu peristiwa Wasior 2001, peristiwa Wamena 2003, peristiwa Jambo Keupok 2003, dan peristiwa Paniai 2014.
“Dari berbagai peristiwa yang bentangan waktu dan tempatnya sedemikian panjang dan luas, serta konstruksi dan tipologinya yang bermacam-macam, dipastikan tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu pendekatan,” ujar dia.
Jaleswari mengatakan, berdasarkan pengalaman dari berbagai negara, setidaknya ada dua jalan yang perlu ditempuh, yakni jalan penyelesaian yudisial dan non-yudisial. Menurut dia, kedua jalur penyelesaian ini bersifat saling melengkapi, bukan saling menggantikan guna memastikan penyelesaian kasus secara menyeluruh.
Dia menyebut, Keppres tentang Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu itupun merupakan langkah terobosan pemerintah mempercepat pemenuhan hak-hak korban.
0 comments:
Posting Komentar