Indonesia kini tersandera subsidi bahan bakar minyak (BBM). Padahal pemerintah pernah memangkas dana subsidi dengan sangat drastis pada 2015 silam dan ekonomi Indonesia baik-baik saja.
Kebijakan tersebut sejatinya dilaksanakan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat baru terpilih. Kala itu, Jokowi merasa ruang fiskal sangat sempit, sementara pembangunan infrastruktur sangat mendesak.
Juga patut diketahui, sejak sebelumnya semua pihak sudah sepakat bahwa subsidi BBM hanya ibarat kebijakan 'bakar uang' semata, karena dinikmati oleh orang kaya dan tak memberikan dampak besar ke perekonomian.
"Kita pernah melakukan reformasi yang sangat progresif tahun 2014 ke 2015, di mana subsidi dan kompensasi energi cukup tajam. Dari 3,2% PDB menjadi 1% PDB," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR RI, Senin (12/9/2022)
Pada 2014, subsidi BBM menghabiskan dana sebesar Rp 240 triliun. Harga minyak dunia yang digambarkan lewat Indonesia Crude Price (ICP) US$ 96,5 per barel dan kurs Rp 12.189 per dolar AS.
Jumlah subsidi yang terus naik dari tahun-tahun sebelumnya, seiring dengan kenaikan harga minyak dunia, pelemahan nilai tukar dan kenaikan konsumsi hingga rawan penyelewengan.
Setelah ada reformasi subsidi, yaitu penghapusan subsidi premium dan penerapan subsidi tetap untuk solar, anggarannya turun drastis menjadi Rp 60,8 triliun pada 2015. Hingga 2021, anggaran subsidi BBM memang tidak banyak perubahan, kecuali pada 2018 yang menjadi Rp 97 triliun. Sisanya berkisar pada rentang Rp 41 triliun sampai Rp 60 triliun. Anggaran tersebut termasuk subsidi LPG.
Selama periode tersebut juga, setelah reformasi BBM, tidak ada drama politik yang terjadi di parlemen. Harga BBM naik dan turun diterima oleh masyarakat.
Pemangkasan dana subsidi, lanjut Febrio kemudian dialihkan ke pembangunan infrastruktur. Pemerintah cukup gencar membangun jalan, pelabuhan, bandar udara (bandara), pembangkit listrik dan infrastruktur lainnya dari Sabang sampai Merauke.
Terakhir, kebijakan subsidi mendorong korupsi dan penyelundupan produk bersubsidi ke negara tetangga atau ke sektor non-subsidi di mana harga jual lebih tinggi; menimbulkan biaya administrasi besar untuk pemantauan, mencegah dan menangani penyalahgunaan.
0 comments:
Posting Komentar